Saat Pelita Gantikan Lampu: Realita Siswa Pelosok NTT yang Tak Tersentuh Listrik
Di saat sebagian besar anak-anak Indonesia menikmati kemudahan belajar dengan bantuan teknologi—dari internet cepat hingga lampu terang benderang—masih ada anak-anak yang harus bertarung dengan gelap malam dan nyala redup pelita demi mengejar cita-cita. Itulah potret nyata yang terjadi di beberapa desa pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT), tempat di mana listrik belum pernah menyapa, dan pendidikan tetap diperjuangkan meski dalam keterbatasan.
Ketika Gelap Menjadi Teman Belajar
Bagi siswa di beberapa wilayah terpencil NTT, pelita minyak tanah bukan hanya simbol nostalgia—melainkan satu-satunya sumber cahaya saat malam tiba. Setelah seharian membantu orang tua di ladang atau mengurus adik di rumah, anak-anak ini tetap menyempatkan diri membuka buku dan menulis di bawah cahaya seadanya.
Meski asap pelita kerap membuat mata perih dan pencahayaan tak cukup terang, semangat belajar mereka tak pernah padam. Mereka tahu bahwa satu-satunya cara keluar dari lingkaran kemiskinan dan keterisolasian adalah melalui pendidikan.
“Saya ingin jadi guru. Supaya anak-anak di desa saya tidak perlu belajar dengan pelita lagi,” ujar Yohana, siswi kelas 5 di salah satu sekolah dasar di Kabupaten Sabu Raijua.
Infrastruktur yang Tak Pernah Sampai
Ketiadaan listrik bukan hanya soal minimnya fasilitas, tetapi juga mencerminkan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Sinyal ponsel pun nyaris tak ada, apalagi akses internet. Fasilitas sekolah seadanya, kadang hanya berdinding anyaman bambu dan beratapkan seng, menjadi tempat para guru mengajar dengan dedikasi luar biasa.
Meski pemerintah pusat telah mencanangkan program elektrifikasi nasional, banyak desa di NTT belum tersentuh jaringan listrik PLN karena medan yang sulit, biaya distribusi tinggi, dan keterbatasan infrastruktur dasar.
Guru dan Relawan, Cahaya di Tengah Kegelapan
Di tengah keterbatasan, para guru lokal dan relawan pendidikan hadir sebagai obor harapan. Mereka bukan hanya mengajar di kelas, tapi juga ikut mendampingi anak-anak belajar di malam hari, bahkan kadang menyediakan minyak tanah dari kantong pribadi agar pelita tak padam.
Program pendidikan alternatif, seperti kelas malam di rumah warga, juga menjadi inisiatif kreatif untuk memastikan anak-anak tetap mendapat hak belajar meski tanpa penerangan layak.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kisah ini bukan sekadar cerita pilu, tapi seruan nyata untuk bergerak bersama. Banyak organisasi sosial dan kampanye donasi kini mulai menjangkau desa-desa terpencil untuk memberikan lampu tenaga surya, panel surya mini, hingga buku-buku bacaan bagi anak-anak yang ingin belajar lebih baik.
Selain itu, perlu ada komitmen lebih kuat dari pemerintah dan swasta untuk menjadikan akses listrik sebagai kebutuhan dasar yang setara di seluruh penjuru negeri.
Pelita Harapan yang Tak Boleh Padam
Di tengah kegelapan malam, cahaya pelita menjadi saksi perjuangan anak-anak desa yang bermimpi besar. Meskipun tak tersentuh listrik, semangat mereka lebih terang dari lampu mana pun. Mereka bukan hanya penerus bangsa, tetapi juga pengingat bahwa kesetaraan dalam pendidikan adalah hak, bukan sekadar harapan.
Sudah saatnya kita menyalakan lebih banyak cahaya—bukan hanya secara harfiah, tetapi juga dalam bentuk dukungan nyata dan kebijakan berkeadilan untuk masa depan yang lebih terang bagi seluruh anak negeri.