Anak Muda Jakarta Ragu Menikah: Biaya Hidup Tinggi Jadi Faktor Utama
Pernikahan, yang dahulu dianggap sebagai tujuan hidup sekaligus simbol kedewasaan, kini mulai mengalami pergeseran makna di kalangan anak muda Jakarta. Banyak dari mereka yang memilih untuk menunda bahkan ragu melangkah ke pelaminan. Salah satu alasan paling sering terdengar adalah tingginya biaya hidup di ibu kota.
Realita Hidup di Kota Metropolitan
Jakarta dikenal sebagai kota dengan biaya hidup yang tidak murah. Harga hunian, transportasi, kebutuhan sehari-hari, hingga gaya hidup perkotaan menuntut pengeluaran besar setiap bulan. Bagi generasi muda yang baru meniti karier, gaji yang diterima sering kali hanya cukup untuk kebutuhan pokok, bahkan kadang masih harus ditambah dengan utang atau bantuan keluarga.
Ketika memikirkan pernikahan—yang identik dengan pesta, biaya tempat tinggal baru, serta kebutuhan anak di masa depan—beban finansial terasa semakin berat. Tidak sedikit anak muda akhirnya menganggap menikah justru menambah persoalan baru dalam hidup mereka.
Tekanan Sosial dan Budaya Konsumtif
Selain faktor ekonomi, tekanan sosial juga ikut berperan. Budaya pernikahan di Jakarta kerap menuntut resepsi mewah dengan standar tinggi. Mulai dari dekorasi, gedung, busana, hingga dokumentasi, semua membutuhkan biaya fantastis.
Generasi muda yang ingin lebih realistis pun sering merasa terhimpit oleh ekspektasi keluarga dan lingkungan sekitar. Alih-alih memikirkan komitmen pernikahan itu sendiri, mereka lebih dulu dihantui biaya besar yang harus ditanggung.
Prioritas Bergeser
Fenomena ini membuat banyak anak muda di Jakarta lebih memilih untuk memprioritaskan hal lain, seperti mengembangkan karier, mengejar pendidikan tinggi, atau menikmati kebebasan hidup. Pernikahan tidak lagi menjadi “target wajib” di usia tertentu, melainkan sebuah pilihan yang bisa ditunda hingga kondisi finansial dan mental lebih stabil.
Harapan Generasi Muda
Meski begitu, bukan berarti anak muda Jakarta menolak pernikahan sepenuhnya. Mereka hanya ingin melangkah dengan lebih matang, tanpa terbebani utang atau konflik akibat ketidaksiapan finansial. Banyak di antara mereka yang berharap adanya perubahan cara pandang masyarakat terhadap pernikahan: bukan sekadar acara besar penuh gengsi, melainkan perjalanan membangun keluarga yang sederhana namun bahagia.